(Hanny,Toko buku impor, di pojok jakarta..)
Hanny hampir tidak percaya, ia melihat Sardik, setelah hampir 20 tahun. Disini, tepat didepan toko buku yang biasa ia kunjungi bila pulang ke jakarta. Sardik masih diambang empat puluhan,tapi ia menua dengan cepat. Rambut putihnya merata disemua bagian,kerut di sekitar mata dan mulutnya membuat wajahnya makin kelihatan letih. Sardik kepayahan menjalani hidupnya. Semua tergambar jelas pada raut wajahnya yang tirus.
Hanny menahan nafas. Sesak memenuhi dada nya.
(Sardik, lengkap dgn peralatan perang, sehabis bertugas..)
Penampilan yang sangat kontras, dibanding dirinya. Sardik menunduk memandangi ujung bootnya, Hanny semakin berkilau, menua dengan segala keanggunan. Bahkan Sardik pun dibuat terpesona. Bukan oleh penampilannya yang anggun bersahaja dalam balutan blus hijau kashmir dan rok silknya yang jatuh sangat elegan pada tubuh mungilnya,tapi karena sepasang mata berbentuk badam yang indah itu masih bersorot sama. Tatapan lembut yang membuatmu ingin terus berenang disana.
Sardik menelan ludah, pahit dan menyakitkan hati nya. Cinta itu rupanya masih terpatri di sudut hati nya. Rasa sakit yang nyaman. Aneh.
Ia jadi agak pening, disambutnya genggaman tangan Hanny dengan gerakan enggan yg memilukan. Cuaca panas makin memperparah situasi. Dengan lembut Hanny menuntunnya duduk. Cepat ia melambai, menyuruh pelayan membawakan air. Restoran itu kecil tapi nyaman. Musiknya lembut, dan bau nya manis. Sardik menenggak tandas segelas air es yang disodorkan. Dinikmati nya betul sorot khawatir dimata Hanny. Aah..
Mereka berbicara berjam jam, mengejar ketertinggalan ruang dan waktu. Ketegangan sudah mencair, tawa sesekali mencerahkan udara yang semakin dingin. Sampai saatnya tiba untuk berpamitan.
"Datang saja ke kantor besok" pesan Hanny berkali kali. Menekan lengannya lembut.
Sardik mengangguk cepat. "Ya.." gumamnya
"Aku tungu.."
Senyum sarat harapan, kali terakhir sebelum Hanny menghilang dalam bmw silvernya.
Sardik berdiri menatap cermin, sepasang mata letih menatapnya. Ia kaget melihat begitu menyedihkan bayangannya disana. Mendesah dalam, meratapi kehidupan yang berlari melewati nya. Ia melongok dari jendela lantai 35, tempat nya bekerja. Satu ruangan kecil dengan 4 kursi, 2 loker, 2 bangku panjang, dapur mini dengan rak sederhana, kebanyakan berisi mie instan dan tumpukan harnes, helm, dan tumpukan rapi overal orens, seragam kerja mereka. Pembersih jendela, spesialis bangunan bertingkat di jakarta ini. Pekerjaan dengan upah rendah dan resiko mati. Ya, itu resiko yang harus mereka tanggung setiap hari. Resiko itu sebanding, buat dunia mereka yang kecil, menghidupi anak dan istri.
Sardik bekerja dalam diam, pikirannya selalu fokus bila ada di ketinggian. ia tidak mau mati konyol, jatuh karena teledor. Belum, ia masih butuh pekerjaan ini, sampai saatnya tiba nanti..
Jadi ia bekerja dengan tenang, dan terkontrol. semua peralatan disiapkan dengan rapi, dan teliti. Mereka bekerja dalam tim, beranggotakan 6 orang. Tiap crane beisi 2 orang. 2 orang operator bekerja di bawah. Mengawasi.
Shifnya berahir sore itu, lalu ia bergegas menghampiri shuttle bis yang sudah menunggu, berhenti di halte berikut, dan menghilang dalam commuter...
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar